Rumah_impiaN
Jumat, 16 Februari 2018
Bantaran Sungai
BANGUNAN di atas bantaran sungai merupakan pemandangan teramat biasa di Indonesia. Hampir di setiap kota/ kabupaten dengan mudah kita dapati deretan bangunan di bantaran sungai/ kali. Terlebih jikalau letak geografis kali/ sungai tersebut “menguntungkan” secara ekonomi. Dari berbagai penjuru, pedagang berdatangan lalu mendirikan bangunan semi permanen hanya untuk berjualan.
Lambat laun manakala keuntungan perniagaan itu dianggap cukup, bangunan semi permanen itu ditingkatkan kualitasnya. Semen, pasir dan bata mulai bekerja.
Adanya pertumbuhan pendapatan kaum pedagang (urban) di atas bantaran kali itu memungkinkan ia mengajak sanak keluarga untuk ikut serta mengadu nasib di kota. Berbekal keberanian dan tekad mengubah nasib, semakin banyak jumlah pedagang di atas bantaran kali. Mereka pun tidur di bangunan itu. Mereka pun bahkan membawa serta anak istri.
Apa jadinya? Bantaran kali kian sesak oleh bangunan. Kali menyempit. Para pedagang itu membuang sampah serampangan karena di belakang bangunan tersedia kali. Akibat lain tentu saja kota kehilangan sungai. Kehilangan penampung air untuk mengalirkan ke laut. Di samping itu, potensi banjir mengancam.
Pemerintah DKI Jaya ketika dipimpin Ahok tergolong berhasil mengatasi masalah pemindahan penduduk dari bantaran kali ke rusunawa. Sudah menjadi rahasia umum, menghadapi wong cilik tidak mudah. Sikap reaktif menjadi kebiasaan keseharian lantaran beratnya tantangan hidup di kota.
Keberhasilan mengatasi bangunan di atas bantaran kali sebagaimana dilakukan pemda DKI seharusnya menjadi contoh pemda-pemda lain. Penyelesaian tanpa kekerasan dan saling menguntungkan kedua pihak. Pemda bisa mengembalikan fungsi kali/ sungai ke asalnya, sementara para pendiri bangunan di atas bantaran sungai memiliki rumah sebagai kompensasi.
Sebenarnya pemda tidak harus memberi kompensasi apa pun. Akan tetapi faktor kemanusiaan mengemuka di sini.
Ketika berhadapan dengan masalah bangunan di atas bantaran kali, pemda dihadapkan pada dilema. Membiarkan berarti menyalahi peruntukkan bantaran sungai dan menindak berarti berhadapan dengan para jawara, serta diklaim sebagai kesewengan penguasa.
Pemda dan pendiri bangunan di atas bantaran kali pun sama-sama berpikir dalam kerangka subjektif. Berkali operasi penertiban dilakukan, berkali pula muncul ketaksepahaman. Ada kalanya ketaksepahaman itu berujung pada sikap kurang bersahabat, antara lain saling menyalahkan. Lalu kapan masalah ini selesai apabila semua pihak terkait merasa benar dengan asumsinya sendiri?
Menyimak Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dengan mensyaratkan 70 persen digunakan untuk bangunan dan 30 persen untuk lahan hijau/ lahan publik, pemda setempat menjabarkan UU tersebut di atas dengan mengesahkan peraturan daerah (perda). Perda itu diantaranya mengatur tentang pelarangan bagi setiap orang/ warga untuk melakukan usaha pada tempat-tempat yang bukan peruntukkan usaha (di atas trotoar, di atas bantaran sungai, saluran drainase, jalur hijau, badan jalan, lapangan baik sementara atau pun tetap). Perda berkekuatan hukum itu susah
direalisasikan. Perda itu seperti halnya UU No. 26/ 2007 tentang ruang hijau terbuka selalu menjadi problem tetap pemda se-Indonesia.
Berharap adanya penyelesaian kedua pihak, yakni pemda dengan para pendiri bangunan di atas bantaran sungai/ kali, tanpa mengundang masalah baru yang lebih besar, kiranya pemda harus mampu menjadi bapak yang menggembirakan anak-anaknya, bukan memanjakan anak-anaknya. Bapak yang mengayomi anak-anaknya, meskipun terkadang anak-anaknya menjadi nakal. Anak-anak nakal itu pada musim politik adalah anak-anak potensial demi keberhasilan keinginan politik Sang Bapak.
Proses penyelesaian pendiri bangunan di atas bantaran kali/ sungai sejatinya dapat dimediasi oleh bantuan pemda yang telah berhasil melaksanakan UU No. 26 Tahun 2007, pemda Surabaya umpamanya.
Pemda dan DPRD dituntut kerja keras menyelesaikan problem rutin yang boleh dikata tidak terselesaikan serta selalu muncul pada tiap perioda kepemimpinan. Satu probem yang mengemuka kini ialah bangunan di atas bantaran kali. Jikalau pemda berhasil melaksanakan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Ruang Hijau Terbuka, tanpa kekerasan, berarti pemda tersebut telah melaksanakan tugasnya secara baik. Keberhasilan tadi kelak akan menjadi contoh dan referensi proses penyelesaian dengan kaum urban. Dan akan lebih bermakna lagi apabila disertai kebijakan politik dengan menyediakan lapangan kerja sehingga kaum urban yang memadati kota tidak menjadi penghuni tetap di atas bantaran kali/ sungai.***
Selasa, 13 Februari 2018
Kartu Lebaran
SAMPAI dengan sekitar awal tahun 2000, kita masih memperoleh kartu lebaran. Baik dari teman, kerabat atau saudara. Saat memperoleh kartu lebaran yang terkirim melalui pak pos berkendaraan sepeda motor warna oranye, kegembiraan terpancar dari wajah sang penerima. Sambil mengucapkan terima kasih kepada pak pos, kartu lebaran itu diperlihatkan kepada teman dan atau saudara. Semakin banyak memperoleh kiriman kartu lebaran menunjukkan bahwa kita punya banyak teman.
Kartu lebaran bergambar masjid disertai kaligrafi bahasa Arab bertuliskan Taqabalallahu mina wa minkum. Taqabal ya karim, bergambar ketupat, beduk, anak lelaki bersarung plus kopiah dan perempuan berbusana muslim. Sepertinya mewakili ketidakhadiran fisik pada tanggal 1 Syawal. Entah karena jarak yang jauh atau kendala lain, misalnya keenganan menemui teman-kerabat-saudara lantaran keterbatasan waktu. Atau mungkin karena kartu lebaran dianggap cukup efektif untuk memohon maaf dan saling memaafkan. Itu sebabnya ada tradisi saling bertukar kartu lebaran.
Di Jalan Kesambi Kota Cirebon ada sebuah toko yang menjual aneka kartu lebaran, Toko Jago namanya (sampai sekarang toko ini masih ada). Di Jalan Lawanggada Toko Milik dan Toko Mulus juga menjual kartu lebaran. Kedua toko itu sudah lama gulung tikar dan berganti owner. Di Jalan Pulasaren ada Toko Kita yang menyediakan kartu lebaran. Begitu pula semua toko buku di Kota Cirebon: TB Dasco di Jalan Pagongan, TB Setia di Jalan Pasuketan, TB Attamimi di Jalan Panjunan, Toko Lima di Jalan Pasuketan dan lain-lain tak urung menjual kartu lebaran.
Keberadaan kartu lebaran mengundang kreativitas anak muda yang pandai menggambar. Bermodal kertas jeruk atau kertas asturo, cryon, pastel, pinsil warna, tinta bak/ tinta Cina dan pena runcing, spidol dan media pewarna lainnya ~anak muda yang pandai menggambar menjual kartu lebaran. Baik kepada teman-temannya sendiri dari rumah ke rumah, maupun membuka lapak meja kecil di trotoar, malah ada yang menggelar penjualan kartu lebaran di pinggir jalan secara menggelar plastik lipat.
Ingat kartu lebaran bagai mengingat kembali ketika di beberapa super market/ toserba di Kota Cirebon menyediakan kartu lebaran dalam jumlah banyak (produk cetak) di dalam boks yang mudah terlihat konsumen. Ingat kartu lebaran juga mengingat kreativitas para pekerja percetakan.
Kartu lebaran akhirnya kalah saing oleh hand phone sekitar tahun 1998. Layanan pesan pendek/ small message service (sms) menggusur peran kartu lebaran. Setidaknya mengurangi kuota produksi dan penjualan kartu lebaran.
Seorang teman berujar, “Isun sih bli kiyeng mbales sms Selamat Idul Fitri. Bli sopan. Rayaan ya kudu teka. Marek”, ketika hand phone belum begitu mewabah seperti saat ini. Namun kini dia menjadi pengguna hp yang aktif berselancar di media sosial mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, dan di bawahnya mencantumkan nama saat berkirim sms.
Kartu lebaran masih ada hingga kini dan biasanya cukup banyak tersebar di kalangan instansi. Akan tetapi tidak untuk masyarakat banyak. Bagaimana pun keberadaan kartu lebaran menunjukkan pentingnya saling memaafkan atas segala hilap dan salah antarsesama muslim. Sengaja atau tidak kata maaf harus terucap/ tertulis. []
Oo dan Encim
ENTAH kenapa panggilan kepada masyarakat Tionghoa tak jauh dari Oo dan Encim. Ada kalanya juga dipanggil Taci atau Babah.
Empat julukan yang akrab di sebagian besar masyarakat terhadap etnis Tionghoa biasanya berlangsung akibat transaksi jual beli. Sebagaimana diketahui keturunan etnis Tionghoa pada umumnya piawai berniaga.
Sejak kecil saya mengenal etnis Tionghoa. Berawal dari tetangga dekat rumah yang selalu mengirim dodol menjelang imlek. Encim tetangga saya itu (meski tidak diketahui namanya) menyuruh cucunya mengirimkan dodol. Tetapi soal dodol imlek yang dibagikan ke tetangga terdekat itu telah berlalu. Tahun 1980 (kalau tak salah ingat) encim itu meninggal dunia.
Pengenalan terhadap etnis Tionghoa pun didukung oleh ayahanda yang berjualan kain untuk penghasilan tambahan. Kain itu diperoleh dari grosir Toko Anatex di Pasar Balong sebelum ada mal di sana.
Bukan kebetulan bila lingkungan tempat tinggal saya dihuni cukup banyak oleh etnis Tionghoa. Konon kata teman sepermainan kecil, kampung Warnasari Kelurahan Kesambi cukup memberi hoki bagi warga keturunan etnis Tionghoa. Dua nama yang masih teringat ialah Babah Kolim di Jalan Kesambi Dalam dan Babah 52 di Jalan Kartini.
Pengenalan lain tentang Tionghoa banyak diperoleh melalui tontonan film-film kungfu dan silat Mandarin di bioskop era 1970 - 1980 an, selain melalui kitab silat yang kadang dibumbui fiksi sejarah. Kitab itu sangat terkenal sehingga banyak yang kehilangan setelah Asmaraman S. Kho Ping Ho meninggal dunia di Surakarta.
Pengenalan atas budaya Tionghoa pun akhirnya diperoleh secara langsung dengan beberapa musabab. Umumnya bersifat transaksi dagang dan hanya sedikit yang berangkat dari sebab lain. Itu sebabnya ketika beberapa orang Tionghoa tampil di arena politik nasional fakta ini menjelaskan kebhinekaan yang patut disyukuri. Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama agaknya paling menonjol dalam hal ini.
Oo dan Encim atau apa pun julukannya menandakan bahwa Cirebon sebagai kota tujuan kaum urban (segala etnis dan sub etnis) harus bisa mempertahankan keberbagaian budaya. Dengan kata lain kehadiran etnis mana pun merupakan berkah bagi NKRI. Banyak sisi positif yang dapat diambil dari persilangan budaya antaretnis.
IMLEK tahun 2018 ini khususnya di Cirebon semoga mampu menghapus sentimen yang tidak berdasar tethadap etnis Tionghoa. Justru kebangkitan RRC ada baiknya dirujuk pemerintah RI, terutama dalam hal penguatan akar budaya dan etos kerja masyarakatnya.@
Kamis, 08 Februari 2018
Dokmong
FOLKLORE atau cerita rakyat di Cirebon salah satu bentuknya bernama dokmong, dodok bari ngomong. Dokmong bisa pula diartikan monolog yang dilakukan seorang dalang wayang.
Pada pentas dokmong itu dalang merangkap sebagai panjak (pencerita), sinden dan nayaga (penabuh alat musik). Cerita yang dituturkan dalang umumnya berupa nasihat kehidupan. Menurut filolog Dr. Rafan Hasyim, M.Hum dalang dokmong pun menceritakan masa sebelum dunia diciptakan Tuhan.
Kadang sang dalang berkisah mengenai Yajuz Majuz, jaman para nabi, juga kehidupan ukhrawi. Akan tetapi bila audince didominasi anak-anak maka dalang mengisahkan fabel (dunia hewan). Referensi Dokmong diperoleh dari kitab Babad Jaman. Boleh jadi dalang dokmong tidak lain adalah penganut tarekat Satariyah.
Hingga tahun 1970-an di Cirebon Dokmong masih terlihat pada hajatan/ kenduri dan mider/ bebarang. Tahun 1980-an dokmong tinggal istilah. Bahkan ada kesalahpahaman mengenai dokmong yang seakan-akan hanya duduk dan ngobrol saja pada sebuah hajatan, alias tidak nanggap apa pun.
Dokmong dikaitkan dengan pilkada 2018 terlihat pada perjumpaan bakal calon kepala daerah dengan calon pemilih. Duduk manis, menyebar senyum, penuh perhatian seakan menjadi pendengar yang baik atas keluhan masyarakat, lalu dia ngomong.
Yang diomongkan tentu saja janji apabila ia terpilih sebagai kepala daerah. Apakah janji itu akan direalisasikan atau benar-benar dokmong, semuanya kembali kepada pribadi sang bakal calon.
Dokmong dulu dan kini berbeda pada dua hal. Dokmong terdahulu dituturkan oleh dalang yang seorang sufi. Dokmong sekarang dituturkan calon kepala daerah yang lebih sering ingkar janji daripada menepati janji.@
Pada pentas dokmong itu dalang merangkap sebagai panjak (pencerita), sinden dan nayaga (penabuh alat musik). Cerita yang dituturkan dalang umumnya berupa nasihat kehidupan. Menurut filolog Dr. Rafan Hasyim, M.Hum dalang dokmong pun menceritakan masa sebelum dunia diciptakan Tuhan.
Kadang sang dalang berkisah mengenai Yajuz Majuz, jaman para nabi, juga kehidupan ukhrawi. Akan tetapi bila audince didominasi anak-anak maka dalang mengisahkan fabel (dunia hewan). Referensi Dokmong diperoleh dari kitab Babad Jaman. Boleh jadi dalang dokmong tidak lain adalah penganut tarekat Satariyah.
Hingga tahun 1970-an di Cirebon Dokmong masih terlihat pada hajatan/ kenduri dan mider/ bebarang. Tahun 1980-an dokmong tinggal istilah. Bahkan ada kesalahpahaman mengenai dokmong yang seakan-akan hanya duduk dan ngobrol saja pada sebuah hajatan, alias tidak nanggap apa pun.
Dokmong dikaitkan dengan pilkada 2018 terlihat pada perjumpaan bakal calon kepala daerah dengan calon pemilih. Duduk manis, menyebar senyum, penuh perhatian seakan menjadi pendengar yang baik atas keluhan masyarakat, lalu dia ngomong.
Yang diomongkan tentu saja janji apabila ia terpilih sebagai kepala daerah. Apakah janji itu akan direalisasikan atau benar-benar dokmong, semuanya kembali kepada pribadi sang bakal calon.
Dokmong dulu dan kini berbeda pada dua hal. Dokmong terdahulu dituturkan oleh dalang yang seorang sufi. Dokmong sekarang dituturkan calon kepala daerah yang lebih sering ingkar janji daripada menepati janji.@
Senin, 23 Mei 2016
NU dan Kepekaan Sosial
Catatan Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon
KONFERCAB
Nahdathul 'Ulama (NU) Kota Cirebon ke-12 dengan tema Melestarikan Islam
Nusantara yang Damai dan Toleran untuk Cirebon Ramah, berakhir Minggu 22 Mei
2016 sekira pukul 19.30 WIB. Terpilih
Dr. KH. Samsudin sebagai Rois Syuriyah dan Ustadz Yusuf, SE, MM sebagai Ketua
Tanfidziyah periode 2016-2021.
Acara yang
digelar sejak Minggu pagi di Mesjid Hijau Grage City itu dihadiri sejumlah Kiai
NU, Walikota Cirebon, Ketua DPRD Kota Cirebon dan berbagai stakeholder NU.
Diikuti peserta konferensi cabang dari 5 (lima) MWC NU yang terdiri dari MWC
Harjamuki, MWC Kesambi, MWC Pekalipan, MWC Lemahwungkuk dan MWC Kejakasan
~proses pemilihan di penghujung rangkaian acara merupakan moment yang ditunggu.
Muktamirin
lain adalah PCNU, Pengurus Ranting, Lembaga/ Lajnah serta Badan Otonom PCNU,
dan undangan khusus Ulama/ Kiai pesantren.
Sebagaimana
halnya konfercab, panitia menjadwalkan berbagai acara yakni beberapa sidang
pleno berupa: Pengesahan Tatib, LPJ PC NU 2011-2016, Pandangan Umum dan Jawaban
PCNU, Sidang Komisi Program, Sidang Komisi Organisasi, Sidang Komisi
Rekomendasi, Pengesahan Sidang Komisi, Demisioner PCNU, Pemilihan Rais Suriyah,
Ketua Tanfidziyah dan Formatur 2016-2021.
Sebagai
sebuah gerakan dakwah, NU yang mengedepankan pendekatan kultural sejak
didirikan pada tahun 1926 semakin memperjelas sosoknya dengan pemihakan atas
masalah-masalah yang muncul di masyarkat. Itu sebabnya NU Kota Cirebon menurut
Ustadz Yusuf yang baru saja terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah, akan memediasi
persoalan krusial yang berkembang di tengah masyarakat. Mediasi yang dilakukan
bisa berupa pendampingan maupun mencarikan solusi atas persoalan.
"Ke
depan saya yakin tantangan NU kian besar. Terlebih di era MEA kini, kita
dihadapkan pada kompetisi tajam terutama menyangkut kekuatan modal",
lanjut Ustadz Yusuf. Ia menambahkan, kita tidak perlu khawatir karena jumlah
warga NU yang besar merupakan aset dan modal yang cukup kuat.
Sementara
itu Ketua SC Konfercab NU ke-12, Prof. Dr. Jamali Sahrodi usai pemilihan Rois
dan Ketua PCNU Kota Cirebon menyampaikan harapan agar pengurus periode 5 tahun
ke depan mampu bekerja dengan baik disertai semangat nahdhiyin yang memperhatikan
pentingnya aspek kepekaan sosial. Dan kepekaan itu mesti ditunjang oleh
kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, serta kecerdasan spiritual.
Berpangkal dari tiga kecerdasan itulah, NU akan semakin memiliki empati
kebangsaan yang berawal dari pemahaman Islam Nusantara.
NU sebagai
gerakan dakwah berbasis pendekatan kuktural terbukti mampu bertahan di segala
jaman. Kekuatan spirit yang diperoleh dari pemahaman budaya lokal lantas
diadaptasi dengan kaidah ajaran Islam pada akhirnya kian membuka mata, bahwa
pribumisasi Islam memang perlu di Indonesia ini. Merujuk pada ajaran Wali
Sanga, saya kira NU merupakan perpanjangan upaya kreatif para wali manakala
mengislamkan tanah Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara.
Konfercab
secara legalitas diselenggarakan sebagai amanat dari AD/ART NU hasil Muktamar
Jombang tahun 2015 lalu, terlebih dengan adanya sistem AHWA (Ahlul Halil Wal
Aqdhi) dalam pemilihan Rois Syuriyah NU sebagai kepemimpinan tertinggi di NU
dan untuk menjaga kehormatan ulama di tingkat kepengurusan NU dan masyarakat.
Untuk
menjaga kehormatan ulama itulah maka NU senantiasa peka dan memiliki empati
atas fenomena yang berkembang secara dinamis di masyarakat.
Mengutip
AD/ART NU Bab IV Pasal 9 point b : Di bidang pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina
umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan
terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan negara. Sementara poin c berisi :
Di bidang sosial menguapayakan dan mendorong pemberdayaan di bidang
kesehatatan, kemaslahatan dan ketahanan keluarga, dan pendampingan masyarakat
yang terpinggirkan (mustadl'afin).
Dua poin di
atas menggambarkan keberpihakan NU atas permasalahan besar bangsa ini. Di
samping tentu saja masih banyak aspek penting lain, misalnya di bidang ekonomi
dan kerjasama luar negeri demi peningkatan kualitas SDM warga NU.
Terpilihnya
Dr. KH. Samsudin dan Ustadz Yusuf, SE, MM
pada periode 2016-2021 ini semoga menjadikan organisasi keagamaan
berbasis budaya ini semakin mampu mengikat masyarakat di bumi dengan sembilan
bintang yang mengitarinya, sesuai dengan logo NU.
MENGIKUTI jalannya
konfercab NU Kota Cirebon ke 12 sejak pukul 14.40 WIB hingga terpilihnya Rois
Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah kita diingatkan untuk selalu memahami bahwa roda
organisasi agama dapat berputar apabila para pemutarnya berada dalam jalur dan sikap
demokratis. Organisasi keagamaan berbasis kultural yang memang didirikan bagi
tersebarnya siar Islam yang merangkum kebudayaan lokal sejatinya berangkat dari
kekuatan umat dalam hal penghargaan atas keberbagaian. Keberbagaian yang
menghidupi Nusantara itulah titik masuk Islamisasi. Kepiawaian Wali Sanga pada
abad 15-16 Masehi ternyata telah diteruskan oleh organisasi massa yang bernama
Nahdhatul `Ulama(NU) yang didirikan di Asembagus Situbondo Jawa Timur pada
tahun 1926.
Imbasnya,
kini anak-anak muda NU tergerak melakukan perubhan sosial di masyarakat dengan
interes yang cukup tinggi dalam pemberdayaan masyarakat. Pemerdayaan tersebut
juga diikuti dengan peningkatan intelektual anak muda NU di bidang pendidikan
formal. Penguatan pendidikan formal merupakan sarana memahami persoalan yang
trerus berkembang secara dinamis di masyarakat. Bekal itulah yang membawa NU
semakin memiliki kepekaan sosial.***
.Selasa, 04 November 2014
Kang Ayip Muh, Kenangan Itu…
Oleh Dadang Kusnandar
TEATER anak-anak yang dikelola Agus DTA dan kawan-kawan di
MI dan MTs An Nur Jagasatru, suatu saat dikabarkan menerima bantuan berupa fresh money dari Unesco, lembaga
kebudayaan PBB. Alkisah, Dedi Kampleng, Khumed, dan Mahmud Yahya menemui KH
Syarif Muhammad Yahya. Bertiga hendak menyampaikan kabar gembira itu kepada
sesepuh pondok pesantran Jagasatru Cirebon. Teater Cahaya yang menampilkan
proses kreatif anak-anak Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah dan SMP/ Tsanawiyah
itu tergolong kelompok teater yang memberdayakan peralatan ala kadarnya saat
itu. Kabar akan datangnya bantuan dari Unesco tentu saja membanggakan,
sekaligus melambungkan angan. Perlengkapan lampu pertunjukan, sound system dan sebagainya, begitu
menggoda.
Bertiga di atas menyampaikan kabar itu dengan wajah sumringah. Kang Ayip Muh mengatakan, “Bagus atuh baka mengkonon”. Tentu saja
ujaran singkat itu dianggap justifikasi kesetujuan sang kiai atas bantuan bagi
Teater Cahaya. Namun sang kiai meneruskan dengan pertanyaan, “Kalian mengirim
proposal ke Unesco?”. Sontak ketiganya menjawab, “Nggih, kang”.
Itu namanya bukan bantuan, lanjut sang kiai. Itu artinya
kalian mengemis. Jadi batalkan saja. Biar saja lampu pertunjukan Teater Cahaya
pake kaleng, yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek. Bagai disambar petir. Ketiga
pegiat Teater Cahaya itu terpaku. Dengan lidah kelu, keputusan Kang Ayip Muh
diterima. Sembari menghaturkan salam, ketiganya berlalu.
Teater Cahaya di lingkungan Pesantren Jagasatru merupakan
satu-satunya teater anak-anak yang hingga kini masih bertahan di Cirebon.
Pentas mereka senantiasa bermula dari hal-hal kecil yang menyisipkan pesan
ajaran agama Islam. Penonton menerima pesan moral itu tanpa merasa digurui
anak-anak. Sebabnya ialah pesan Kang Ayip Muh di atas itu tadi, “Yang penting
pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek”.
Kisah yang telah berlangsung puluhan tahun itu disampaikan
Dedi Kampleng, belum lama ini kepada saya di meja makan kantin At Taqwa. Kisah
yang menyiratkan dan menyuratkan ketegasan seseorang untuk tegak berdiri pada
kemampuan dan ketersediaan perlengkapan yang ada. Tak harus meminta karena
ujarnya, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan lain
perkataan jadilah diri sendiri tidak dengan membungkukkan badan di hadapan
juragan atau pemilik kapital.
Pelajaran berharga yang mungkin langka di kehidupan kita.
Proses saling memberi dan menerima dalam transaksi sosial ekonomi kerap
berlangsung lantaran ada pihak yang mengajukan bantuan. Bantuan diberikan
manakala telah ditelaah (meski tidak rinci) secara administrasi. Pihak pemberi
bantuan ~karena kedudukannya sebagai tangan di atas~ biasanya berdalih, “Kami
hanya membantu. Soal bagaimana penggunaannya, terserah pihak penerima”.
Bantu membantu tak pelak merupakan hal biasa. Akan tetapi di
tengah masyarakat kita, masih terdapat banyak person yang enggan mengajukan
diri meminta bantuan. Bukan lantaran malu atau gengsi, melainkan terpatri
ajaran moral untuk tidak merendahkan diri di hadapan orang lain. Juga bukan
karena tidak butuh, sikap seperti itu muncul setelah secara sadar menerima
kenyataan, destiny yang digariskan
Tuhan.
Lalu apakah sikap nrimo
ing pandum itu dimaknakan sebagai kepasrahan total atas kesejatian diri?
Pembaca budiman dapat menilai sendiri menyoal itu. Setidaknya kelemahan secara ekonomi tidak kemudian dapat dijadikan
alasan untuk menempatkan kita di koridor objek. Baik itu objek pemberian yang
bersifat kemanusiaan, terlebih yang bersifat politis.
Kelebihan seseorang konon terletak pada kekuatan sikap.
Konsistensi dan komitmen pada pendirian merupakan hal langka. Satu yang langka
itu pernah disampaikan oleh Kang Ayip Muh seperti digambarkan di atas.
Memaknai Pesan
Ada kisah lain yang saya dengar langsung ketika jamaah
pengajian beliau hendak memberi sebuah mobil. Kiai sederhana yang berkain
sarung dan kopiah hitam itu suatu ketika didatangi jamaahnya. “Saya ingin
memberikan mobil kepada Kang Ayip untuk memperlancar dan mempercepat kegiatan
dakhwah”. Kiai bijak itu tersenyum.
“Terima kasih atas niat baik sampeyan. Tapi kalau saya menerima mobil itu,
kasihan tukang becak langganan saya”.
Begitulah kisah keteguhan pendirian seseorang yang kian tak
terdengar lagi di era sekarang. Pendirian untuk kokoh pada kesejatian diri.
Menolak pemberian dalam konteks ini bukan berarti menolak rizki. Bayangkan
sebuah mobil pada tahun 1993 diberikan begitu saja, kendati sang pemberi iklas
melakukannya, namun akan tersebar ke kancah umat bahwa “harga” sang kiai berupa
sebuah mobil. Artinya keteguhan sikap Kang Ayip Muh terhindar dari bahan
pembicaraan buruk tentang memberi dan menerima.
Kenangan kepada Kang Ayip Muh telah lama mendekam di benak.
Kenangan demi kenangan itu kadang melintas, menggapai untuk segera dimaknai.
Pemaknaan yang berangkat dari kesediaan kita untuk merenungkan hal-hal yang
baik untuk seterusnya diterapkan pada keseharian. Apabila kita mampu menangkap
pesan indah di balik kenangan pada seseorang yang kita banggakan, terlebih
lintasan kenangan itu seperti menggapai, maka itulah saatnya berbenah. Saatnya
menempatkan kesejatian diri di tengah kemampuan dan ketersediaan sarana yang
kita miliki.
Biarlah tutup lampu panggung Teater Cahaya itu terbuat dari
kaleng, biarlah Kang Ayip Muh tetap naik becak ke mana pun pergi sekitar Kota
Cirebon, dan sejumlah kisah lain yang belum tertulis mengenai beliau. Penolakan
indah itu menitipkan pesan agung yang telah sama-sama kita pahami. Agaknya
sesuatu yang diam-diam menjauh dari kesejatian kita antara lain mengajukan
bantuan kepada pihak lain guna berbagai alasan.
Mengutip ujaran bagus KH Wahid Hasyim, “Jangan remehkan
siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun
kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu
Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh”. Ujaran bagus ini
analog dengan kekuatan kita untuk senantiasa berdiri di atas kaki sendiri.
Non Partisan
BAGI kalangan Muhammadiyah, Kang Ayip Muh tetap dikenang
sebagai sosok sederhana yang memiliki peran sosial cukup penting di Cirebon
khususnya. Kesediaan beliau menerima tamu berbagai kalangan menjadikannya tidak
saja disegani melainkan mendapatkan tempat cukup indah bagi siapa pun. Tamu
beliau pun merambah kepada teman-teman politisi dan pejabat.
Ada sebuah cerita yang saya lihat langsung manakala
silaturahmi ke Ponpes Jagasatru, tepatnya ke rumah beliau. Waktu itu menjelang
pemilihan Walikota Cirebon. Ketika kami asik berbincang dengan tema beragam
~sesuai topik yang disampaikan tamu~ tiba-tiba datang seorang pejabat pemda
lantas menyampaikan maksudnya. Pemilihan kepala daerah yang diusung partai
politik merupakan moment kunjungan politisi ke kediaman Kang Ayip Muh. Beragam
maksud disampaikan, beragam pula saran dan atau nasihat yang diberikan sang
kiai. Lantaran beliau mahir dalam hal ilmu mantiq
(diplomasi), tak mudah nasihat keluar dari lisannya. Diperjelas dahulu dan
dibolak-balik pertanyaan serta pernyataan sang tamu, setelah itu barulah beliau
mengatakan sesuatu.
Jawaban yang muncul pun bukan petuah, apalagi perintah, akan
tetapi permintaan terhadap sang pejabat untuk merenungkan langkahnya. Saya
kaget ketika tiba-tiba beliau berkata kepada pejabat tadi sambil menunjuk,
“Ente, calo calon walikota”. Tak elok jika nama pejabat dimaksud saya tulis di
sini. Jawaban yang menohok itu tentu saja memusingkan sang pejabat yang kini
sudah pensiun.
Padahal jikalau Kang Ayip hendak mendulang uang, masa
pencalonan kepala daerah merupakan saat yang tepat. Namun beliau tidak memihak
kepada siapa pun dan tidak berdiri pada sebuah partai politik mana pun. Sekali
pun Alwy Shihab, waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri singgah ke pondok
pesantrennya. Beberapa tamu pejabat Indonesia yang berkunjung kepada beliau,
menunjukkan hubungan personal yang terjalin baik sehingga Kang Ayip dipercaya
sebagai salah satu tempat bertanya.
Bertandang ke rumah beliau bagi
penulis dan teman-teman membuat rasa nyaman. Mungkin karena ketulusan menerima
tamu tanpa melihat apakah dia seorang penjudi, pemabuk, ustadz, orang kampung
yang lugu, pemuda, pejabat dan segala profesi. Sikap tulus yang terpancar dari
wajah bersihnya membuat kami betah berlama-lama duduk bersila di hamparan tikar
di ruang tamunya.
Selasa menjelang Magrib 26 Desember
2006, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan
menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena
beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya
masih mengisi majelis Ta’lim seperti biasa, siangnya masih menghadiri acara
dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu. Abdul
Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15
Juli 1932.***
(Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan Harian Umum
Fajar Cirebon pada Oktober 2014 dan diperpanjang pada bagian Non Partisan)
Selasa, 21 Oktober 2014
Buruk Muka Kampus Dibelah
Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon
KORUPSI, kata yang menakutkan bagi kalangan pengguna
keuangan. Kata itu pula mengundang rasa ketidaknyamanan manakala disematkan
kepada diri seseorang. Aktivis politik tiba-tiba
dikenai pasal korupsi, lalu publikasi meluas dan ia dihadapkan sebagai saksi,
tersangka, terdakwa di pengadilan. Sanksi hukum pun harus ia terima, meski
kerap merasa bahwa dirinya bukan koruptor, serta stigma koruptor padanya tak
lebih dari sebuah proses politik yang cukup panjang.
Siapa pun orangnya dan apa pun jabatannya ketika terjerat
kasus korupsi akan berkelit semampu mungkin untuk bisa lepas dari konsekuensi
hukum. Di samping tentu pula menyangkut nama baik yang tercoreng, runtuhnya kredibilitas dan
kepercayaan publik. Rasa malu akhirnya datang ketika secara hukum positif ia
ketahuan melakukan tindak korupsi. Yang paling berat ialah rasa malu kepada
lembaga atau institusi tempat mengabdi.
Jika korupsi melanda ke dunia pendidikan, apa yang diharapkan
kelak bagi lembaga penting sebagai pencetak generasi unggulan itu? Itu sebabnya
menyangkut IAIN Syekh Nurjati Cirebon, “kabinet” ke depan harus mempunyai
komitmen memberantas korupsi. Pelaporan semua aset kampus ke Kas Negara,
sebagaimana dilakukan Rektor IAIN SNJ, mungkin saja positif bagi pemberantasan
korupsi. Kepengurusan ke depan IAIN SNJ pun harus memiliki komitmen yang kuat
terhadap bidang akademik. Ini penting mengingat masih adanya suara-suara
negatif terhadap perilaku akademik beberapa dosen senior, bahkan guru besar.
Kampus harus terbebas dari politisasi yang diam-diam dilakukan oleh civitas academicanya sendiri.
Masa depan kampus negeri satu-satunya (hingga saat ini) di
Cirebon juga ditentukan oleh komitmen kerja yang unggul. Dalam arti seluruh
elemen yang terkait dalam aktivitas intelektual itu mampu memperlihatkan kerja
yang optimal sehingga mampu menaikkan gengsi kampus. Kerja unggul dengan hasil
kerja unggulan sangat mungkin bagi iklim kondusif peningkatan kualitas
pendidikan tinggi tersebut. Kerja unggul yang berangkat dari kepentingan
lembaga, tak urung mesti disertai dengan dedikasi, etos kerja, maupun
integritas intelektual para penghuninya ~di dalamnya termuat etika intelektual.
Korupsi yang melanda aktivitis politik boleh dikata hal
biasa lantaran sejak diundangkannya pemberantasan korupsi, negara yang bersih
dari tindakan korupsi-kolusi-nepostisme (KKN), didirikannya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), negeri kita memasuki fase cukup bagus dalam hal
“pengamanan” keuangan negara. Sebaliknya korupsi yang menerpa dunia pendidikan
merupakan sebuah kegagalan teramat besar sehingga tidak saja melahirkan
ketidakpercayaan masyarakat. Korupsi pada dunia pendidikan harus segera
diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh, dan terhindar dari pepatah: Buruk Muka Cermin Dibelah.
Jargon KPK yang popular, “Kalau Bersih Kenapa Risih”,
menitipkan pesan moral yang kuat. Betapa pun hantaman pihak dalam dan luar yang
dialamatkan kepada setiap orang yang ditengarai melakukan tindak korupsi, agar
tidak merasa risih. Kelak peradilan lah yang membuktikan apakah ia memang
seorang koruptor atau pihak yang terkena hasutan sampai diproses sebagaimana
layaknya. Koruptor atau bukan sangat tergantung pada keputusan pengadilan.
Dengan demikian kampus harus bersih supaya tidak risih.
Bersih dari carut marut yang memungkinkan munculnya pertikaian internal. Bersih
yang lain ialah bersih dari tindakan koruptif yang memicu kuatnya pertikaian
sampai melupakan tugas utamanya, yakni mendidik generasi muda supaya memiliki pemahaman
yang terintegrasi dengan Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yakni pertama Pendidikan, kedua Penelitian dan
Pengembangan, ketiga Pengabdian Masyarakat.
Perguruan
tinggi juga dapat mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis
pada keilmuan dan sumberdaya lokal dalam kerangka sistem nilai budaya bangsa,
membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan dengan
kebutuhan masyarakat dalam rangka merespon perubahan global yang sangat
dinamis, mengembangkan pusat-pusat pengembangan masyarakat dengan memanfaatkan
sumberdaya dan nilai-nilai lokal yang ada, membantu pengembangan kebijakan
strategis terhadap legislatif dan eksekutif serta mengontrol implementasi
kebijakan-kebijakan tersebut. Perguruan tinggi juga dapat berperan dalam mengembangkan
strategi kebudayaan, hal tersebut sangat diperlukan dalam membangun peradaban
bangsa, terutama untuk membangun nilai-nilai yang sejalan dengan kemajemukan
bangsa agar keberagaman diterima sebagai sebuah kekayaan dan tidak dipertentangkan.
Pembangunan peradaban itu sendiri perlu berbasis pada nilai etika dan nilai
budaya yang sudah melekat dalam jari diri bangsa.
Apa
yang bakal terjadi apabila kampus sibuk dengan masalah internal yang tidak
produktif. Dan dapatkah Tri Dharma Perguruan Tinggi terwujud seandainya rektor,
pembantu rektor, dekan, dosen senior, guru besar, petugas administrasi kampus
terus bertikai melakukan pembenaran atas apa yang telah dilakukannya selama ia
menjalankan tugas intelektualnya? Pembenaran yang bertolak belakang dengan
kerja unggul demi menciptakan perguruan tinggi yang unggul serta menjadi contoh
perguruan tinggi di sekitarnya. Sebagai satu-satunya PTN di wilayah Cirebon,
seharusnya IAIN SNJ memberikan teladan yang baik dalam hal pengelolaan kampus.
Sengkurat
kasus yang menimpa lembaga pendidikan tinggi negeri di wilayah Cirebon semoga
menjadikan kita kian bijak bahwa membangun kekuatan lembaga dengan segenap daya
dukung yang dimiliki akademisinya adalah jauh lebih penting daripada membangun
diri atas nama lembaga. Membangun diri hanya berdampak pada diri sendiri dan
orang terdekat yang mengitarinya, sementara membangun lembaga akan berdampak
langsung bagi seluruh civitas academica
yang tergabung di dalam lembaga itu.
Satu
hal yang mesti diingat pula ialah pentingnya menjaga wibawa kampus. Kewibawaan
yang antara lain ditunjukan oleh keinganan kuat menyelesaikan masalah internal
tanpa melibatkan pihak eksternal. Artinya semakin sering pembahasan buruk
menyoal kampus melalui publikasi media cetak elektronik, pada satu sisi
menampilkan wajah buram yang buruk rupa. Sisi buruk itu terjadi mengikuti
pepatah lama yang telah dianjarkan para orang tua kita, menepuk air di dulang terpecik muka sendiri. Dengan perkataan lain,
insan pendidikan yang memiliki niat kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
marilah beranjak dari diri sendiri untuk menyelesaikan segala permasalahan
internal dengan menepis dendam dan kesumat.***
Langganan:
Postingan (Atom)